Budaya dan kebudayaan

Budaya dan kebudayaan

Kebudayaan adalah sebuah penomena yang cukup menarik perhatian.

Awalnya adalah ketika saya mengajar pendidikan kesenian di sebuah Sekolah Menengah Atas di Jakarta, saya memberikan materi tentang keragaman kebudayaan nasional indonesia.

Sebagai pengantar saya memberikan sedikit wacana umum tentang budaya atau kebudayaan.

Saya coba melemparkan pertanyaan pada para siswa mengenai apa dan bagaimana budaya itu esungguhnya.

Saya tidak mengharapkan jawaban lengkap meliputi tatanan epistemologi dan ontologi, saya hanya ingin mendengar jawaban sederhana saja dan jujur, ternyata jawaban jujur mereka cukup membuat saya pusing untuk terus memberikan pengantar mengenai kebudayaan.

Mereka menjawab bahwa kebudayaan adalah wayang golek, wayang wong, kebaya, ketoprak, ngaben dan lain-lain.

Apa yang salah dari jawaban mereka?

Dan mengapa saya bisa sakit kepala karena jawaban mereka?

Bagaimana menurut anda, apakah jawaban mereka salah seluruhnya, atau benar seluruhnya, atau ada benarnya dan ada salahnya?

Lalu mengapa saya sakit kepala? Anda bisa menebak mengapa?

Kelas tetap saya lanjutkan langsung masuk ke materi tanpa pengantar, dan para siswa masih menyimpan rasa bangga karena jawaban mereka tidak saya sanggah atau saya komentari, mereka merasa jawaban mereka sangat sempurna.

Kepala saya pusing lagi.

Pulang mengajar saya masih teringat mereka. Ada sedikit ada keraguan dengan apa yang selama ini saya ketahui mengenai budaya atau kebudayaan.

Langsung saya buka lemari buku, saya tarik keluar satu buku yang paling mungkin dapat menjawab keraguan saya.

Ternyata benar, pada lembar awal pengantar penulis saya langsung mendapat jawaban esensial mengenai kebudayaan.

Mengapa kebudayaan dianalogikan dengan wayang golek, wayang wong, dan lain-lain?

Terdapat kekeliruan dalam meng-interpretasikan kebudayaan. Siswa SMA mungkin dapat di maklumi jika berpikir kebudayaan sama dengan wayang, karena semua setuju bahwa wayang adalah salah satu produk dari kebudayaan.

Tetapi akan sangat berbahaya jika orang dewasa menjawab dengan jawaban yang sama seperti para siswa, karena kebudayaan itu bukan semata-mata sebuah bentuk jadi melainkan sebuah proses kerja yang bersifat dinamis dan selalu berada dalam wilayah progress, tidak akan pernah berakhir.

Wayang adalah sebuah produk budaya, pada masyarakat jaman dahulu sebuah kebudayaan berkembang dalam lingkungan kemasyarakatan, tetapi mereka bukan wayang, mereka manusia sejati dengan kebudayaan seperti yang di lakoni oleh berbagai karakter dalam pewayangan.

Salah satu orang dalam masyrakat saat itu memiliki peran yang kurang lebih seperti guru pada saat ini atau pemerhati yang berkecimpung dalam antropologi, yang mencatat, merekam, dan mengabadikan perilaku manusia pada masa tersebut.

Atau seorang sastrawan, seniman, yang membuat partitur yang berisi harapan tentang kondisi ideal masyarakat dengan mental dan moral yang sangat mapan [jaman sekarang orang sering mengistilahkannya dengan utopia].

Lalu ada seorang lagi yang memiliki wawasan dan mengerti serta paham bahwa karya seniman tersebut adalah karya yang luar biasa, lalu di simpan, di rawat, di konservasi, lalu disiarkan sebagai wacana hingga turun temurun.

Lalu tiba pada masa sekarang dimana produk kebudayaan benar-benar ditempatkan sebagai produk yang. Maka ada sekelompok manusia yang memahami bahwa produk sama dengan aset sama dengan komoditas sama dengan keuntungan.

Saya hidup di jaman yang digambarkan paragraf diatas. Jaman yang memahami kebudayaan sebagai objek wisata, kebudayaan harus di lestarikan, kebudayaan yang merupakan sumber pendapatan, kebudayaan yang tidak dipahami.

Kenyataan seperti menghantam kepala saya dengan batu besar lalu bumi seperti terbalik dan saya terbawa pada perasaan sendiri, sepi dan merinding karena dihadapkan pada kengerian yang luar biasa.

Betapa tidak, lebih dari enam tahun bergelut dalam dunia kebudayaan, dunia seni, dunia epistemologi, dunia aksiologi,dunia ontologi,dunia dengan segala keluhuran aktifitas, dunia dengan segala perasaan indah.

Ternyata semua hanya dunia simulasi dari dunia utopis yang tak pernah ada, sedangkan dunia nyata di tutup sangat rapat bahkan kedap udara sehingga aroma nya tidak pernah bisa saya rasakan.

Sejenak saya berpikir dan mencari siapa penyebab kesalahan semua ini, tetapi kembali kepala saya berputar, bahkan lebih cepat dari pusing yang sebelummnya.

Bermacam-macam para tersangka muncul dalam waktu singkat, langsung berjubelan di depan wajah saya dengan jarak yang sangat pendek, sehingga mata saya dipaksa untuk memfokus pada jarak sangat dekat.

Para tersangka tersebut semuanya berteriak-teriak bahwa mereka tidak bersalah dengan berbagai alasan yang mereka ungkapkan.

Menteri pendidikan nasional :

“saya tentu saja tidak bersalah, karena sekarang saya sudah tidakmenangi masalah kebudayaan, terima kasih kepada pa dur yang sudah memisahkan pendidikan dan kebudayaan. Dulu depdikbud sekarang depdiknas, berarti saya tidak bersalah donk. Kalo mau salahkan saja pa dur, waktu jadi presiden, beliau lah yang memisahkan pendidikan dengan kebudayaan, jadi saya tidak bersalah khan? Iya khan?,,,, “.

PGRI :

“saya ini harus memikirkan banyak sekali variabel, mas. Oleh karena itu wajar donk kalau saya tidak begitu memprioritaskan masalah kecil seperti itu, yang jadi prioritas utama saya adalah bagaimana agar saya dan rekan-rekan ini sejahtera hidupnya sebagai guru, mas tau kan guru itu kurang mendapat perhatian dari pemerintah, guru itu terlanjur dianggap pahlawan yang tidak memerlukan tanda jasa, sehingga tidak terlalu dipikirkan, mas juga kan tau kalau kita semua juga manusia, untuk merayakan ulang tahun saja saya harus memberika surat edaran kepada semua teman-teman untuk memberikan tambahan iuran wajib. Maka dari itu, mas sangat salah sasaran kalu menuduh saya menjadi penyebab masyarakat sekarang ini tidak memahami kebudayaan. Eh mas, btw kebudayaan itu apa ya?”.

Menteri pariwisata :

“Hidup kebudayaan, karena kebudayaan para leluhur, sekarang saya tidak terlalu pusing untuk memberikan segala macam pengeluaran ke setiap daerah. Sekarang setiap daerah sudah diberikan otonomi untuk mengelola segala macam sumber kebudayaan setempat sebagai komoditas pariwisata. Saya jadi sering kebagian proyek, dan sekarang saya lagi rajin mengajukan proposal untuk pembangunan objek pariwisata, sabetannya lumayan mas. Kalo dipikir-pikir, saya ini orang yang berjasa melestarikan kebudayaan loh, makanya mas jangan asal menuduh bahwa saya yang menyebabkan masyarakat tidak mengerti budaya, tidak memiliki budaya, tidak paham budaya. Saya ndak mengerti mengapa mas menuduh saya, saya ini tidak mungkin bersalah, bahkan saya tidak melihat adanya kesalahan dalam masyarakat, kok mas bisa-bisanya bilang masyarakat kita buta budaya, hati-hati lo mas, mas bisa saya tuntut, mas bisa masuk penjara karena masalah ini, sadarlah mas, kita ini hidup di dunia nyata, bukan dunia ideal, dunia ideal cuma ada di dalam laboratorium yang semuanya sudah di set oleh para ilmuwan. Sudah ya saya sibuk, banyak daerah yang membutuhkan bantuan saya”.

Waduh….! Saya malah kena cerca.

Kalau saya tulis semua, bisa-bisa tulisan ini tidak selesai-selesai.

Karena masih pusing, saya pun berlari meninggalkan mereka para tersangka itu, sampai seorang teman menghentikan saya dan bertanya kenapa saya berlari, dan kenapa berlarinya kadang kekiri kadang kekanan seperti cara berjalan orang mabuk.

Saya jawab singkat bahwa saya sedang sakit kepala dan sedang menghindar dari cercaan orang.

Lalu saya bertanya kepada teman saya mengenai apa dan bagaimana budaya atau kebudayaan itu, dia menjawab seperti berikut :

“Menurut saya kebudayaan itu adalah sikap manusia secara kolektif yang memungkinkan untuk sebuah kemajuan baik secara mental, dan keilmuan, tidak didasari oleh kecenderungan memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, tidak mengorbankan orang lain, atau kelompok lain, semuanya harus berjalan dengan sinergi yang harmonis, memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah pola kemasyarakatan yang kuat, sebagai sesuatu yang diyakini membawa kebaikan, dibentuk karena peran aktif setiap unsur masyarakatyang membentuk sebuah sistem yang bekerja dengan kinerja optimal, sebuah keberadaan yang dimanis, sebuah kondisi massive yang sangat potensial pada perubahan, sebuah aktifitas sosial yang dipercaya masyarakat, sebuah wacana intelektual, sebuah eksplorasi potensi dengan optimisme, sebuah sikap positif, sebuah kebersahajaan, sebuah momentum yang memberi energi pada usaha percepatan, sebuah konstelasi singular dan juga iregular, sebuah mode kesepahaman, sebuah karakteristik, sebuah sumber kekuatan sikap, sebuah sejarah yang mendukung keberlangsungan dunia”.

Sebenarnya saya masih kurang puas dengan jawaban teman saya itu, tidak terangkai secara sistematis, tidak dapat dijadikan teori, masih terlalu banyak ungkapan secara personal, tapi kok saya sedikit lebih tenang ya, sebagian hati ini puas, dan sakit kepala saya mulai berkurang.

Saya harus banyak belajar lagi.

Saya masih harus banyak berbincang dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, saya ingin sekali mendapat jawaban sederhana dari berbagai sudut pandang.

3 thoughts on “Budaya dan kebudayaan

Leave a reply to adisuseno Cancel reply